Pada zaman kejayaan Islam, wakaf berperan memiliki peranan penting dalam menopang kehidupan masyarakat. Sebabnya, sebagian besar fasilitas umum yang memberikan maslahat bagi umat dibiayai dari wakaf produktif.
“Karenanya, wakaf itu harus produktif,” ujar Pakar Sejarah Islam, Ustaz Budi Ashari, Lc., dalam kajian di Kuttab Al Fatih – Sinergi Foundation, beberapa waktu lalu.
Pada zaman itu, wakaf digunakan untuk membangun bimaristan (rumah sakit), kuttab, madrasah, dan sarana lainnya. Sedangkan untuk menyokong gaji pegawai dan operasionalnya berasal dari wakaf produktif.
“Wakaf produktif itu dikonsep sedemikian rupa luar biasanya untuk menghidupkan peradaban. Rata-rata konsep yang diterapkan pada wakaf zaman itu sama, setiap ada pembangunan wakaf untuk kesehatan, pendidikan, bahkan tempat beribadah, pasti dibuat juga wakaf produktifnya.
Jika satu wakaf produktif tidak cukup, maka akan dibangun beberapa wakaf produktif lain untuk menyokong biaya gaji pegawai dan operasionalnya,” tuturnya.
Kebalikannya dengan masyarakat di Indonesia, tutur Ustaz Budi. Masih banyak yang beranggapan bahwa wakaf adalah maslahat yang pasif. Ia menambahkan, “Saya pernah mau menerima wakaf sawah produktif, namun peraturan di daerah tersebut harus diuruk terlebih dulu. Padahal sawah tersebut amat menghasilkan.”
Hal tersebut harus diluruskan. Wakaf tidak melulu gratisan, tidak dibayar, atau dibayar sekadarnya, ini pemikiran yang salah, tegas Ustaz Budi. Sebabnya, di era kejayaan Islam, para guru yang mengajar di kuttab dan madrasah atau petugas medis di rumah sakit wakaf itu justru diberikan bayaran tinggi.
“Karenanya, kita perlu sekali mempelajari skema wakaf sebaik mungkin. Sebab pada dasarnya skema wakaf ini luar biasa besarnya, mulai dari fikihnya, peraturan secara hukumnya, sampai praktek di lapangan sangat amat dahsyat,” pungkasnya.